Jumat, 20 Juli 2012

5 W 1 H

?5W 1H DALAM MENGEMBANGKAN IDE CERITA –
Waktu sedang subur-suburnya membuat fiksi, cerita pendek maupun novelet semasa duduk di bangku SMA dan berlanjut di perguruan tinggi, apa yang lakukan benar-benar otodidak, tanpa mengenal teori. bahkan saya tidak paham istilah 5W 1H. Belakangan saat saya kuliah, saya baru mengenal 5W 1H, yakni who, what, where, when, why, how. Ini adalah rumus lawas dari novelis Rudyar Kipling.
Saat menjadi jurnalis, saya berdisiplin diri dengan 5W 1H ini, terutama saat menulsi “lede” (ada yang menyebutnya “lead” berita, yakni satu paragraf (atau dua paragraf) pembuka berita. Dalam kurang-lebih 35-40 kata, saya harus menyisipkan 5W 1H ini. Itu dalam menulis berita.
Bagaimana 5W 1H ini dalam mengembangkan cerita? Saya punya pengalaman sendiri, yang jauh dari teori manapun karena saya tidak mengenalnya. Saya akan meneruskan pengalaman ini lain waktu….

Nulis bareng Pepih
?5W 1H DALAM MENGEMBANGKAN IDE CERITA (2) –
Yang saya maksud 5W 1H (who, what, where, when, why, how) dalam mengembangkan ide cerita, bukan menjejalkan rumus kuno Rudyard Kipling ini ke dalam tubuh cerita fiksi yang saya buat, baik itu cerpen ataupun novel, sebagaimana menulis berita langsung. Akan tetapi, saya mengembangkan 5W 1H semata-mata untuk mengembangkan ide cerita.
Ada seorang novelis kontemporer Amerika, saya lupa namanya (tapi Insya Allah saya coba menelusur kembali nama ini). yang mencontohkan secara baik 5W 1H ini dalam mengembangkan ide cerita. Adapun ide cerita yang dicontohkannya tidak lain sebuah pertanyaan: mungkinkah seorang presiden adalah pelaku pembunuhan berantai?
Sederhananya begini jika 5W 1H ingin digunakan untuk mengembangkan ide cerita;
WHO: siapa presiden itu, siapa saja korban pembunuhannya?
WHAT: apa yang dilakukan presiden itu sesungguhnya
WHERE: dimana saja peristiwa pembunuhan itu terjadi?
WHEN: kapan peristiwa itu terjadi, masa lalu atau masa yang akan datang?
WHY: mengapa presiden itu melakukan pembunuhan berantai?
HOW: bagaimana cara presiden membunuh para korbannya satu persatu?
Ini cara sederhana mengembangkan ide cerita berdasarkan rumus Rudyard Kipling yang sebenarnya biasa digunakan secara ketat dalam penulisan berita langsung (straight news). Pada kesempatan yang akan datang, saya coba merumuskan pertanyaan-pertanyaan pendukung atau tambahan yang memperkuat ide/gagasan utama cerita.
Dari rangkaian pertanyaan itu, saya bisa leluasa merumuskan cerita dengan plot, karakter, setting, dan orientasi berdasarkan jawaban=jawaban atas pertanyaan itu.
(bersambung)
Nulis bareng Pepih
?
?5W 1H DALAM MENGEMBANGKAN IDE CERITA (3) –
Dalam paparan sebelumnya saat mengembangkan ide cerita “mungkinkah presiden adalah pelaku pembunuhan berantai?” dengan rumus 5W 1H, beberapa pertanyaan utama dapat digunakan sebagai berikut;
WHO: siapa presiden itu, siapa saja korban pembunuhannya?
WHAT: apa yang dilakukan presiden itu sesungguhnya
WHERE: dimana saja peristiwa pembunuhan itu terjadi?
WHEN: kapan peristiwa itu terjadi, masa lalu atau masa yang akan datang?
WHY: mengapa presiden itu melakukan pembunuhan berantai?
HOW: bagaimana cara presiden membunuh para korbannya satu persatu?
Sebelumnya saya mengatakan, cara sederhana mengembangkan ide cerita berdasarkan rumus Rudyard Kipling ini bisa dirumuskan lebih jauh dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan pendukung atau tambahan yang memperkuat ide/gagasan utama cerita. pada intinya, semua pertanyaan dirinci untuk diverifikasi dan dicari jawabannya sendiri.
Inilah sebagian formula pertanyaan tambahan/pendukung itu:
HOW MANY: berapa jumlah orang yang jadi korban pembunuhan
WHO ELSE: siapa saja mereka itu, korban-korban lainnya
WHAT TIME: kapan dan jam berapa mereka dibunuh
HOW MUCH: berapa dollar biaya untuk membunuh, berapa uang yang dirampok
Itu contoh kecil saja. Anda bisa mencari contoh lainnya, cukup menggunakan formula pertanyaan bahasa Indonesia saja. Misalnya bagaimana cara presiden itu membunuh? apakah dengan pola yang sama, katakanlah seluruh korban dicekik? jam berapa sang presiden melancarkan aksi mautnya? dimana biasanya pelaku mengincar korban? bagaimana reaksi pelaku seusai membunuh? Dan seterusnya…
Nah, ketika pertanyaan utama dan pertanyaan tambahan/pendukung sudah dirumuskan dan sudah dicari jawabannya, tentu saja akan membentuk semacam puzzle yang kelak harus disusun menjadi sebuah cerita yang utuh. Ini bagian tersulit dalam merancang dan mengembangkan cerita. Tetapi dengan bantuan pertanyaan demi pertanyaan di atas, menyusun puzzle rasanya akan jadi lebih mudah.
Selamat mencoba
5 MENIT “SPEED WRITE” SETIAP HARI –
Saya penyuka permainan catur kilat, yakni catur yang hanya memiliki 5 menit waktu berpikir untuk satu partai. Mengasyikkan sekaligus menegangkan. Saya biasa berpikir satu sampai lima detik saja untuk setiap langkah. Kalau orang melihat saya main catur kilat menggunakan jam catur, ia mungkin mengira langkah saya itu asal-asalan. Padahal tidak. Dalam satu sampai lima detik itu saya berpikir keras. Saya menentukan pilihan langkah. Saya tidak berspekulasi, tetapi sebisa mungkin menghitung langkah akurat ke depan. Berkonsentrasi, mengatur strategi, dan tetap melangkah setepat mungkin. Itulah hakekat catur kilat 5 menit.
Adakah 5 menit dalam menulis? Ada. Itulah yang disebut latihan 5 menit menulis cepat. Saya menggunakan kata “cepat”, bukan “kilat”. Pada permainan catur, catur “cepat” berarti waktu berpikir 25 menit untuk satu partai. Dalam menulis, 5 menit itu untuk menulis cepat. Bagaimana Anda harus memulainya?
Memulainya hanya ada tiga langkah: latihan. latihan, dan latihan!
Mari kita memulai latihan dengan satu kejujuran pada diri sendiri. Sediakan penunjuk waktu, jam tangan, weker atau jam dinding. Kita hanya punya waktu 5 menit. Tidak lebih. Apa yang harus Anda tulis dalam waktu 5 menit? Saya akan kasih “clue” atau petunjuk seperti ini:
“seorang pria muda dengan perempuan muda terpisahkan oleh sungai berair dalam yang dihuni kawanan buaya lapar. Si pria muda ditemani seekor anjing betina dan si perempuan muda ditemani anjing jantan”.
Itulah petunjuknya. hanya itu. Sekarang dalam waktu 5 menit Anda diminta menulis tanpa jeda dari petunjuk di atas. Tentu saja Anda diperkenankan mengambil setting waktu senja hari, memulai tulisan dengan dialog atau pernyataan, menciptakan karakter si pria dan perempuan itu. Anda bisa merangkai cerita dalam plot yang flashback atau flashforward, dan seterusnya. Pokoknya Anda diberi kebebasan untuk merangkai cerita. Bumbui cerita dengan konflik dan klimaks, juga akhir yang penuh kejutan.
Bagaimana mungkin Anda bisa melakukannya dalam waktu 5 menit? Percaya saja, Anda pasti bisa kalau mau mencobanya. Biar Anda tidak sendiri, saya juga akan membuat cerita dalam waktu 5 menit lewat petunjuk di atas tadi. Lagi pula, saya biasa melakukan latihan 5 menit “speed write” setiap hari. Hasilnya nanti kita bandingkan.
Mari kita coba!
Nulis bareng Pepih
GAYA SKETSA DALAM MENULIS CERPEN –
Cerpenis B Soelarto mengungkapkan proses kreatifnya membuat cerita pendek. Peristiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan masyarakat yang menggelitik hatinya, sering menjadi sumber inspirasi. Dia memandang setiap peristiwa sosial sebagai sketsa-sketsa kehidupan, snapshot bersahaja. Cerpen pertamanya dari peristiwa kehidupan sehari-hari ini lahir usai menyaksikan dari dekat penodongan di mikrolet.
Menurut Soelarto, teknik penulisan cerpen gaya sketsa adalah sesederhana teknik menulis sktesa. Tidak diperlukan nuansa yang memancing tanda tanya sebagai sentuhan estetis atau renungan gagasan filosofis. Ibarat rangkaian alfabet, cerpen gaya sketsa tidak perlu berakhir — dan memang tidak mungkin dapat — pada akasara Z. “Paling jauh hanya sampai aksara N,” tekannya.
Namun demikian, imajinasi tetap pegang peranan. Imajinasilah yang memungkinkan menulis pembukaan cerpen, mengolah pokok persoalan cerita, dan menentukan titik akhir cerita. Imajinasilah yang mengembangkan inspirasi menjadi bentuk suatu cerita, betatapun sederhananya suatu cerita.
Sedangkan intuisi, kata Soelarto seperti ternukil dalam Buku “Proses Kreatif”, merupakan motor yang menggerakkan daya cipta. Intuisilah yang menentukan kelahiran suatu cerita. “Tanpa intuisi, daya cipta akan statis dan tetap membeku. Takkan menggelitik, untuk menuangkan sesuatu peristiwa menjadi cerita yang berbingkai,” katanya.
Bagaimana dengan Anda, saya, dan kita semua? Garis bawahilah bahwa ide bisa lahir dari peristiwa-peristiwa sehari-hari yang kita lihat , yang terkesesan sepele dan sederhana. Ternyata penulis tidak harus berusah-payah berfilsafat hanya sekadar meuangkan peristiwa itu, cukup menulis dengan gaya sketsa. Maka, jadilah cerpen….
Selamat mencoba!
Nulis bareng Pepih
ISU UNTUK MENULIS ARTIKEL (1)
PADA pelatihan jurnalistik di Universitas Diponegoro, Semarang, 24 hingga 27 Juli 2008 lalu, saya mendapat banyak pertanyaan seputar jurnalistik. Ini lumrah. Akan tetapi, ada pula peserta yang bertanya seputar bagaimana membuat artikel untuk media massa, meski pertanyaan itu dilontarkan saat rehat. Kebetulan, ada lulusan S1 Undip yang beberapa kali artikelnya dimuat di Harian Kompas edisi Jawa Tengah. Kepada dialah saya memberi sedikit ilmu.
Tidak usahlah disebut namanya. Tetapi sejujurnya, saya senang mendapat pertanyaan kritis seputar artikel yang ia buat. Ia mengaku menulis mengenai “dunia pendidikan”. Tanpa bermaksud mengujinya, saya melontarkan beberapa pertanyaan. Bukan apa-apa, inilah cara saya sharing dan berbagi ilmu, modalnya karena artikel saya pernah dimuat di Rubrik Opini Kompas, 20 Juni 1990, jauh-jauh hari sebelum saya menjadi jurnalis!
“Kalau kamu mengikuti dunia pendidikan, jadilah pakar pendidikan. Jangan beralih ke lain subyek. Geluti saja pendidikan dari hulu sampai hilir,” demikian saya membuka percakapan. “Sebenarnya, apa concern kamu terhadap persoalan pendidikan mutakhir?” tanya saya lagi. Ia ragu menjawab, dan memang tidak menjawab. Saya katakan, “Tengoklah persoalan besar pendidikan nasional dewasa ini. Tengoklah dunia pendidikan tinggi yang semakin matre dan mata duitan. Jangan harap orang desa yang tidak berpunya seperti saya bisa masuk perguruan tinggi, meskipun mungkin saya bisa lolos.”
Dia mengangguk. Mungkin mengerti. Saya meneruskan meski bukanlah seorang ahli pendidikan, kecuali seorang jurnalis. “Pendidikan di perguruan tinggi sekarang tidak adil! Menteri Pendidikannya tidak punya visi ke depan soal pendidikan yang seharusnya!” Ia agak terkejut, tetapi masih mau mendengarkan saya.
Saya melanjutkan, “Disebut tidak adil karena hanya orang-orang berpunya saja yang bisa masuk perguruan tinggi negeri ternama. Anak-anak tidak berpunya walaupun pintar, jangan harap bisa masuk. Tengok produk manusia-manusia Indonesia 10, 15, atau 20 tahun mendatang! Apa jadinya kalau SDM Indonesia dijejali anak-anak orang kaya yang karena berpunya bisa belajar di perguruan tinggi, meski otaknya pas-pasan? Sementara anak-anak pintar yang tidak berpunya cukup menjadi buruh atau petani. Tidak tertarikkah kamu pada persoalan mendasar ini?”
“Tertarik. Tetapi saya harus mulai darimana?” jawabnya sekaligus melempar tanya.
“Coba baca UUD 1945 dan perubahannya, di situ tertera dana APBN untuk pendidikan sebesar 20 persen,” kata saya lagi. Dia balik bertanya, “Sangat sedikit ya, Pak?” Saya lalu memotong, “Itu sudah cukup besar! Tapi coba kamu lihat. Perguruan Tinggi yang seharusnya disubsidi biar mahasiswanya tidak harus bayar mahal uang uliah, malah disuruh cari duit sendiri. Coba kamu tengok semrawutnya buku pelajaran yang selalu terjadi setiap tahun! Janganlah lihat jauh-jauh, karena kamu tinggal di Semarang, coba belajar kedekatan (proximity), apa imbas dari semrawutnya dunia pendidikan nasional ini di Provinsi Jawa Tengah?”
“Wah, terima kasih atas penjelasannya, Pak,” katanya lagi. Tetapi saya masih mau menjelaskan sedikit lagi kepadanya tentang kesamaan jurnalis dengan kolumnis dalam menangkap isu, mengembangkan, dan menuliskannya. Lain kali sajalah ya… (Bersambung)
Nulis bareng Pepih
ISU UNTUK MENULIS ARTIKEL (2) —
BAIK, saya teruskan lagi postingan sebelumnya yang sempat terputus. Saya tekankan kepada teman itu bahwa menangkap isu dalam membuat artikel maupun berita ada kesamaan. Bedanya, tugas membuat artikel menjadi “lebih mudah” karena biasanya para penulis artikel mengikuti berita dan mengetahui perkembangan peristiwa mutakhir. Ini masuk akal karena artikel mensyaratkan kupasan yang sedang aktual diperbincangkan!
“Jadi, apakah saya juga harus seperti wartawan, Pak? Maksud saya, apakah saya juga harus mewawancara narasumber?” tanyanya yang langsung saya sambar, “Mengapa tidak?” Dan, dia langsung terdiam demi mendengar jawaban saya itu.
Saya katakan, penulis artikel tidak selayaknya “hidup dalam dunianya sendiri”. Penulis artikel tidak selayaknya menganggap bahwa opini dan pendapatnya saja yang benar. Di luar itu, semua salah. Di luar darinya semua itu tidak penting. Maaf, jangan sekali-kali berpikir seperti itu. Berpikirlah bahwa salah satu tujuan Anda membuat artikel itu untuk memberi pencerahan, berbagi ilmu, berdiskusi, belajar menerima pendapat orang lain, atau belajar menyanggah pendapat orang lain (atau berita) dengan cara santun dalam bentuk artikel.
Buatlah sebuah artikel yang memberi solusi, bukan melulu pertanyaan tanpa jawaban. Bukan melulu gugatan tanpa perbaikan. Berilah pembaca sebuah alternatif dari cara-cara yang sudah umum diketahui, tetapi tidak dengan cara mengajari. Berpikirlah bahwa Anda setara dengan pembaca, sehingga Anda terhindar dari cara-cara menggurui. Yakinkan bahwa solusi yang Anda tawarkan merupakan upaya perbaikan atau novelty (hal baru) yang selama ini belum ada. Namun demikian, jangan sekali-kali mencela solusi yang pernah ditawarkan orang sebelumnya!
Kembali ke cara kerja itu tadi, apakah penulis artikel juga harus seperti wartawan? Saya jawab, “Ya, dalam bata-batas tertentu!” Yang saya sebut “dalam batas-batas tertentu itu” misalnya, apa salahnya kalau penulis artikel juga bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan para pakar lainnya. Mungkin tidak secara resmi, tetapi di saat si pakar itu mengadakan seminar atau acara-acara santai lainnya. Gali saja informasi yang Anda butuhkan dari situ. Gali sebuah persoalan yang kelak akan dijadikan isu dalam artikel yang Anda tulis. Itu pertama.
Kedua, tidak ada salahnya kalau Anda sering-sering datang ke perpustakaan untuk mencari informasi sesuai isu yang ingin Anda kembangkan. Cari informasi di internet sebagai pelengkap isu mutakhir dan jaga kemungkinan tulisan itu sudah ditulis penulis artikel lain. Kalaupun sudah ditulis, cari dari sudut pandang yang berbeda asalkan tidak melakukan plagiat saja. Ketiga, baca buku yang relevan, sekadar melihat “kesejarahan” dari sebuah persoalan. Nah, bukankah cara-cara ini sama dengan apa yang dilakukan oleh wartawan dalam menulis berita?
“Kamu mengerti?” tanya saya menyadarkan lamunan teman saya itu. Dia mengangguk dan tampaknya paham atas apa yang saya bicarakan. Maaf, saya terlalu dominan bicara kala itu karena posisinya sebagai orang yang ditanya. Saya pun menjawabnya sepengetahuan yang saya punya berdasarkan pengalaman menulis artikel yang saya alami. Jika pun postingan ini tidak ada gunanya, abaikan saja! Oke, sampai di sini dulu, sampai jumpa di bahasan lain… (Selesai)
Nulis bareng Pepih
MENGOLAH DAN MENGEMBANGKAN IDE –
Saya sedang main di sungai kecil berair jernih bersama Gadis, anak saya. Saya melihat hamparan batu berbagai bentuk. Besar. Kecil. Ratar. Bolong-bolong. Batu pun bermacam-macam, pikir saya. Kalau saya menangkap batu sebagai benda mati alakadarnya dan mengelola sebagai ide untuk menulis, bagaimana ya? Bagaimana kalau saya mulai; sebongkah batu merah cabai menggegerkan kampung “A” dan penduduk berspekulasi tentang kehadiran batu ajaib itu. Uniknya, batu itu dianggap keramat, jimat, sehingga orang-orang, dari pejabat sampai rakyat, mencoba menyentuhnya. Akhir cerita bisa saya reka sesuka saya. Ada lagi batu datar di pinggir hutan, batu itu biasa dijadikan tempat solat orang lewat sehingga dianggap tempat suci. Lalu batu itu dihancurkan atas nama pembangunan desa dan warga desa geger karenanya, memprotes batu itu dihancurkan, meski ada iming-iming pemerintah desa dibuatkan mushola. Nyatanya rakyat desa tetap menolak. Nah, saya yakin Anda bisa menulis beragam cerita dari sebongkah benda mati bernama “batu’. Berminat mencobanya?
Nulis bareng Pepih
TIPS MENULIS AKHIR PEKAN –
Berbicara, bercakap-cakap, atau ngobrol ngalor-ngidul jauh lebih mudah daripada menulis. Banyak orang bertanya tentang sulitnya memulai menulis. Saya biasa menyarankan, bagaimana kalau ANDA MENULIS SEBAGAIMANA ANDA BICARA atau bercakap-cakap. Ini cara sederhana menembus tembok penghalang sulitnya memulai menulis. TUANGKAN PERCAKAPAN DALAM TULISAN biar kertas atau layar komputer Anda tidak kosong. Hasil tulisan tentu jauh dari sempurna, tetapi terbuka peluang untuk membaca dan menulis ulang, sampai tulisan itu benar-benar tuntas.
Nulis bareng Pepih
ANTARA PENYAIR DAN PEWARTA –
Saya bukan penyair, tetapi penulis/pewarta (jurnalis) yang boleh jadi berbeda gaya/pandangan dengan para penyair, yang biasa menghasilkan puisi-puisi indah. Barangkali karena latar belakang itulah yang membuat saya selalu berpaling serta berpihak pada pembaca. Jurnalis seperti saya tidak boleh “egois” dalam arti menyulitkan dan membikin pusing pembaca dengan bahasa sulit atau bahasa yang tidak mudah dipahami pembaca (njelimet).
Ada anggapan, tulisan yang baik itu adalah tulisan yang bikin dahi pembaca berkerut-kerut. Saya sebaliknya, bagi saya tulisan yang baik itu adalah tulisan yang membuat pembaca langsung paham atas apa yang kita sampaikan (tulis). Saya paham akan kebebasan berkreasi para penyair, yang kadang lebih mementingkan diri sendiri atau katakanlah egois, karena berpikir “yang penting itu karya dan kreasi saya”, pembaca mau mengerti atau tidak, itu urusan lain.
Harus menjadi patokan, syair/puisi/sajak adalah (seharusnya) media komunikasi antara penyair dan pembacanya. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif dengan bahasa yang sama-sama kita pahami dan langsung dimengerti tanpa harus memecahkan kode/sandi terlebih dahulu. Kalau penyair, atas nama kebebasan berkarya dan berkreasi, menyulitkan pembacanya dengan bahasa dan kata-kata yang sulit dimengerti (apalagi menghilangkan kata/bahasa, yang sungguh sangat absurd), itu bukanlah penyair yang baik dan berkualitas, melainkan penyair yang kehabisan ide dan cuma cari sensasi saja.
Saya tetap bisa menikmati Chairil Anwar, Rendra, Sutardji CB, Linus Suryadi AG, Acep Zamzam Noor atau Soni Farid Maulana, karena apa yang mereka sampaikan dapat saya pahami langsung dan tetap menyampaikan kalimat indah dengan kata-kata ajaib, indah dan memukau. Khusus untuk Acep dan Soni, juga Godi Suwarna, saya lebih menikmati puisi-puisi mereka dalam bahasa ibu saya, Sunda.
Nulis bareng Pepih
TIPS MENULIS PAGI INI –
Apa itu “write tight” dalam menulis berita, khususnya saat menulis “lede” alias paragraf pertama berita? Jawaban yang paling mudah diingat adalah: “menyampaikan informasi sebanyak mungkin melalui kata-kata sesedikit mungkin”. Itulah hakekat menulis berita.
TIPS MENULIS SEBELUM TIDUR –
SIM A atau SIM C diperlukan jurnalis dan pewarta warga (citizen reporter) untuk mengejar berita menggunakan mobil atau sepeda motor, mencatatnya, kemudian menuliskannya. Tetapi satu syarat lagi yang penting dimiliki para penulis maupun jurnalis, yakni perlu memiliki SIM C-B dalam menulis. Apa itu SIM C-B dalam menulis? Tidak lain dari SIMplicity (sederhana), Clarity (jelas), dan Brevity (singkat). Selamat tidur dan selamat mengingat-ingat!
Nulis bareng Pepih
TENTANG IDE —
James Scott Bell dalam buku yang ditulisnya, “Plot and Structure” , memberi tips kepada penulis atau calon penulis mengenai bagaimana mengelola ide/gagasan sebagai bahan utama tulisan. Menurut Bell, jika ratusan ide memenuhi kepala kita, buanglah hal-hal yang tidak penting baik itu menyangkut orang, benda atau peristiwa, dan yang perlu kita lakukan cukuplah memelihara dan mengembangkan apa yang tersisa.
Nulis bareng Pepih
TIPS MENULIS PAGI INI —
Mari mengingat dan mengulang kembali cara membuka tulisan dengan “membetot” perhatian pembaca dengan beberapa teknik seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya. Teknik repertoir itu ialah:
1. Percakapan (dialog)
2. Pernyataan (statement)
3. Masalah (problem)
4. Aksi (action)
5. Deskripsi orang (people)
6. Deskripsi tempat (place)
7. Deskripsi waktu (time)
Saya sudah mencontohkan mengenai repertoir tulisan menggunakan teknik percakapan atau dialog. Bagaimana dengan teknik pernyataan alias statement? Insya Allah saya lanjutkan dalam kesempatan berikutnya….
TIPS MENULIS SUBUH INI –
Ada sejumlah novelis yang mampu mengetik sampai 20 halaman sehari. Seorang penulis cerpen bisa menghasilkan minimal satu cerpen untuk kurun waktu yang sama. Bagaimana kita sebagai penulis pemula menghasilkan karya tulis? Mampu menyelesaikan satu halaman tulisan sudah sangat bagus. Kalau tidak bisa satu halaman, setengah halaman sudah lebih dari cukup. Bila tidak tahan setengah halaman, satu paragraf sudah lumayan, dan bila satu paragraf masih belum mampu, ya cukuplah satu kalimat sehari. minimal cukup untuk membuat status Facebook hari ini. Itu adalah cara kita melatih diri menuangkan pikiran ke dalam tulisan, sebab pada hakekatnya jauh lebih baik menulis satu paragraf di atas kerrtas atau layar komputer daripada menulis satu halaman di kepala. Selamat berkarya….
TIPS MENULIS AKHIR PEKAN –
Dalam menulis, jangan terlalu percaya BAKAT. Percaya saja pada NIAT. Bukan niat yang biasa, tetapi NIAT KUAT untuk menulis. Sekali berpikir menulis itu bakat, maka tidak akan pernah ada satu paragraf pun yang kita hasilkan. Bagi yang punya niat kuat menulis, anggaplah menulis itu BERENANG. Orang yang belum pernah berenang sekalipun, asalkan ada niat kuat untuk belajar berenang, pasti memilih kolam atau laut yang dangkal, tidak langsung air dalam. Kita bisa belajar mengapung sambil lihat-lihat orang yang sudah pandai berenang. Belajar menyelam untuk mengukur kedalaman. Setelah bisa mengapung, selanjutnya kita bisa memilih gaya apapun dalam berenang. Sangat penting dicatat adalah: mulailah MENCEBURKAN diri ke air untuk belajar berenang. Jangan takut tenggelam dalam menulis! Selamat berakhir pekan….
Nulis bareng Pepih
Mendengar dengan baik penuturan orang, mencatatnya di kepala, merekonstruksi kejadian dan peristiwanya, adalah amunisi lain untuk menulis. Artikel di bawah ini pernah saya tulis di Kompasiana, tetapi alangkah baiknya dibagikan di sini. Silakan!
Berharap Ada Syarif-Syarif Lainnya…
SABTU malam, 27 Desember 2008 lalu, terjadi kecelakaan kecil di sekitar pintu gerbang perumahan Vila Bintaro Indah, Jombang Ciputat, Tangerang. Sebuah kecelakaan kecil yang tidak penting, yang menempa salah seorang tetangga saya, Uripto. Waktu sudah merayapi angka 23.00 saat peristiwa itu terjadi. Namanya kecelakaan, tidak kenal waktu dan tempat, yang saat itu mestinya jalanan sudah lengang.
Uripto tengah membelokkan sepeda motornya ke arah perumahan itu ketika sebuah sepeda motor mendahuluinya. Si pengendara sepeda motor bisa mendahului Uripto, tetapi malang… ia tidak menyadari kalau tali tas pinggangnya tersangkut stang sepeda motor Uripto. Tetangga saya itu menjadi hilang kesimbangan, di samping kaget yang bukan alang kepalang. Ia terjatuh, terseret beberapa meter dengan posisi wajah menciup aspal segar. Uripto yang berbadan gempal pun hanya bisa telentang di tengah jalan dengan darah segar mengalir dari wajah dan mulutnya sebelum orang-orang datang menolongnya.
Saat saya menengok ke rumahnya, terdapat delapan jahitan di wajah dan gusinya. Ada beberapa gigi depannya yang tidak ingin berjoget tapi bergoyang, nyaris copot. Tumit kananya patah, tempurung di lututnya salah tempat (dislokasi), belum lagi lengan kirinya yang patah. Pendeknya, menderitalah tetangga saya itu. “Bagaimana dengan si pengendara sepeda motor Anda, Pak?” tanya saya saat Uripto berbaring di tempat tidurnya.
Dari sinilah cerita Uripto mengalir, yang memaksa saya menuliskannya kembali untuk Kompasiana….
Menurut penuturan Uripto, orang yang telah mencelakakan dirinya itu bernama Syarif, anak muda berusia sekitar 20-an tahun, bekerja di Timezone Cikokol, Tangerang. Syarif sendiri tidak menderita luka sedikitpun, bahkan tidak jatuh sejengkal pun. Ia tetap tegar dan sejatinya dapat melesat ke depan, meninggalkan korbannya yang terkapar karena ulahnya. “Saya tidak bisa melakukan apa-apa saat itu, kalau pun dia (Syarif) kabur, saya tidak akan mampu mengejarnya,” kenang Uripto ya ng saat itu ditemani istrinya, drg Noory.
Apa yang terjadi beberapa detik setelah kejadian saat jalanan sepi dan keadaan gelap? Syarif, si anak muda, berhenti dan langsung membelokkan motornya untuk menolong Uripto yang terkapar tak berdaya. Tubuhnya yang kerempeng mencoba menarik dan membalikkan tubuh besar Uripto. “Maafkan saya, Pak,” kata Syarif, sebagaimana ditirukan Uripto, sebelum kemudian orang-orang sekitar kejadian datang mengerubung. Sebagian malah sudah emosi dan ingin “menghabisi” -paling tidak-menghajar si penabrak, yaitu Syarif.
“Jangan, Pak,” Uripto mencegah orang yang sudah membuatnya sengsara itu dihajar massa. “Biarkan dia, Pak, dia sudah menolong saya,” pesan Uripto lagi ketika massa sudah ingin menyeret Syarif. Sebaliknya, Syarif menunjukkan kepasrahan dirinya sebagai manusia karena merasa dialah penyebab terjadinya kecelakaan itu. Barangkali dalam pikirnya, mati pun tidak jadi soal saat tanggung jawab sudah dipenuhi!
Sebagai rasa tanggung jawab, karena uang di dompet Syarif tidak mencukupi untuk pengobatan yang pasti mahal itu, Syarif merelakan sepeda motornya menjadi jaminan dan kemudian dititipkan di tetangga Uripto, Jaddid, yang tentu saja tetangga saya juga. Sepeda motor yang pasti sangat berharga buat kerja itu dititipkan sebagai jaminan. Sementara, Syarif pulang untuk meminta pertimbangan ayahnya yang tinggal di Banten. Malam itu Syarif pulang dengan menggunakan kendaraan umum yang beruntung masih ada melintas, meninggalkan sepeda motor lengkap dengan STNK-nya.
Tentu saja saya menyatakan prihatin atas kecelakaan yang menimpa Uripto. Akan tetapi, ada satu pelajaran berharga, sangat-sangat berharga, yang ditunjukkan anak muda itu, Syarif. Di tengah rasa tanggung jawab yang kian menipis di antara kita, di tengah sekumpulan massa yang biasanya berubah menjadi raja di jalanan, dan di tengah menipisnya solidaritas di antara sesama masih ada anak muda seperti Syarif yang mau bertanggung jawab penuh atas apa yang telah diperbuatnya, yang diyakininya salah dan menjadi penyebab celakanya seseorang.
Tidak sedikit orang terkapar di jalanan yang garang, yang tidak sedikit pula di antaranya meregang nyawa akibat korban tabrak lari. “Peduli amat dengan derita orang, yang penting gue selamat dan terlebih lagi nggak harus bayar ganti rugi,” demikian mungkin cara praktis untuk selamat sekaligus lari dari tanggung jawab yang menghinggapi banyak orang.
Nyatanya Syarif tidak. Syarif berbeda dengan kebanyakan para pelaku korban tabrak lari!
Sebagai penghargaan atas sikapnya yang gentleman, yang rasanya sudah sangat jarang ada di negeri ini, saya mendedikasikan tulisan Citizen Journalism ini untuk Syarif. Bahkan naluri jurnalistik saya mengatakan: saya harus mencari Syarif, anak muda berhati mulia ini, sampai dapat. Sekedar belajar menjadi gentleman dan belajar bagaimana cara bertanggung jawab yang sesungguhnya.
Citizen Journalism Project/by Pepih Nugrah
Nulis bareng Pepih
KENALI KHALAYAK PEMBACA —
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menanggapi postingan Kang Insan Purnama di lapak @Komunikasi Sastra mengenai adanya dua jenis pembaca, yakni Pembaca Model dan Pembaca Pendatang. Meminjam istilah komunikasi, yang sebut pembaca ini sebagai khalayak atau audiences.
Terima kasih telah memberi pemahaman saya akan adanya pembaca model dan pembaca pendatang. Saya teringat guru saya, sebuah buku komunikasi mengatakan, “know the audiences” (kenalilah khalayak). Meski para penulis/penyair diberi kebebasan untuk berekespresi sebebas-bebasnya, khususnya penyair yang menulis puisi, rumus “know the audiences” masih tetap dipakai, meski terkesan menggurui, ya, hehehe…
Saya analogikan, penyair yang hendak mengumpulkan puisinya dalam sebuah buku antologi atau bunga rampai, dia akan mengasumsikan pembacanya adalah Pembaca Model dan Pembaca Pendatang itu tadi. Tetapi coba kalau suatu waktu penulis/penyair diminta menulis untuk majalah wanita, majalah anak-anak, buku remaja/anak-anak, untuk buku ajar pegangan siswa-siswa. Maka mau tidak mau kita, para penulis/penyair akan “terikat” rumus “know the audiences” ini.
Penulis/penyair, meski dibekali senjata berkreasi sebebas-bebasnya, rupanya ada juga sesuatu “yang membatasi” kreasi berpikir mereka, karena dia harus mengetahui dan mengenali khalayaknya, yakni pembaca yang dituju. Untuk itu, karena menulis memerlukan media dan media punya karakter sendiri-sendiri berdasarkan usia, jenis kelamin, dan profesi, maka penulis perlu juga perlu memahami “know the medias”, kenali medianya.
Saya kira standard cerpen Majalah Femina dengan Harian Kompas akan berbeda. Juga standar puisi Harian Republika dengan Majalah Basis, misalnya, pasti juga berbeda. Bagaimana mengakali tulisan kita, opini atau puisi, bisa diterima media tertentu agar hasil karya kita segera dibaca khalayak, ya… mau tidak mau kita harus mengenali dua-duanya: kenali khalayak, kenali pula medianya.
Nulis bareng Pepih
BELAJAR MEREKONSTRUKSI –
Saya jarang menemui kesulitan saat memulai menulis, demikian pula menghadirkan ide tulisan. Maaf, bukan saya nyombong, ya! Menembus dinding tembok sulitnya memulai menulis adalah tantangan terbesar penulis, penulis debutan maupun kawakan. Meski segudang ide atau ratusan ilham hinggap di kepala, ia akan jadi fosil yang tak berguna jika tidak bisa memulai. Berkali-kali saya telah memberi tips tentang bagaimana memecah batu es sulitnya memulai menulis ini.
Kali ini saya ingin berbagi pengalaman bagaimana saya melahirkan ide dan mengalirkan percakapan lewat upaya merekonstruksi apa yang saya lihat. Hanya yang saya lihat dan amati. Caranya sederhana, saat saya memandang seseorang (bahkan sesuatu), saya mencoba merekonstruksi apa yang sedang dipikirkannya. Ini yang penting: apa yang sedang dipikirkannya!
Kelihatannya absurd, tetapi dengan cara demikian, terbuka peluang berbagai kemungkinan. Kalau saya melihat seorang Ibu di ruang tunggu bandara dengan merek-merek ternama melekat di tubuhnya, seorang gadis belia yang sedang melamun di dalam busway, atau saat mata terantuk memandang wajah hampa penjaja koran di simpang jalan, terbuka peluang bagi saya melahirkan ide.
Ambil contoh seorang remaja puteri di mal yang keluar masuk gerai-gerai mahal seperti Dolce Gabana, Zara, Bonia dan lain-lain, dimana di tangannya terkumpul kantong-kantong belanjaan, saya mulai berpikir sederhana: siapa remaja ini? Anak siapa dia? Kalau belanjaannya saja berkelas, pastilah mobilnya pun tidak sembarangan (bagaimana kalau ternyata dia naik ojek atau bajaj?). Siapa pula orangtuanya? (Lha, kalau dia ternyata anak koruptor?). Dan yang penting; apa yang dipikirkannya. Jangan-jangan dia berpikir tentang pesta malam minggu nanti. Seperti apa ya pestanya? Siapa tahu barang-barang yang dibelinya itu untuk hadiah buat pacarnya! ah, alangkah beruntungnya si pacar.
Bagaimana kalau saya merekonstruksi bahwa pacarnya itu seorang tukang ojek yang biasa mengantarnya ke sekolah kalau kepepet macet? Wah, menarik karena sudah bicara soal kelas. Bagaimana kalau hadiah itu untuk mantan pacarnya, yang kini sudah pergi mencampakkannya? Bagaimana kalau pacarnya guru les perempuannya? Aduh, semakin liar saja. Atau, ia belanja karena sekadar menghabiskan sisa jatahnya bulan ini. Wow, alangkah kayanya dia atau orangtuanya!
Bagaimana kalau saya merekonstruksi sebenarnya remaja itu hanya sebuah bayangan, sesosok arwah gentayangan, arwah gadis belia yang pada masa hidupnya suka belanja, tetapi dia terbunuh secara mengenaskan. Wah, wah, semakin tak terbendung ide ini. Dengan merekonstruksi gadis belia di mal saja saya sudah bisa memulai cerita remaja (teenlit), cerita misteri, drama kehidupan urban, gaya hidup hypermodern, atau bahkan cerita tragis.
Saya yakin, Anda akan menemui banyak orang dengan latar belakang dan gaya berbeda saat berpapasan di jalan atau saat Anda mengunjungi mal tadi, saat berada di ruang tunggu dokter, di salon, di panti asuhan, saat berpapasan dengan para pengendara motor gede HD, saat memandang wajah seorang anggota DPR di layar kaca, saat memandang mimik peminta-minta, dan seterusnya, yang semuanya tersedia dalam kehidupan sehari-hari.
Persoalannya, mampukah Anda, juga saya, menangkap satu sosok saja untuk saya rekonstruksi di alam pikiran saya, yang kelak melahirkan berbagai cabang ide sebagai modal awal untuk memulai sebuah tulisan? Rasanya tidak akan bisa kalau tidak dimulai. Anda baru setengah bisa jika sudah memulainya.
Untuk itu, mulailah belajar merekonstruksi dari sekarang
Nulis bareng Pepih
BERPIKIR KRITIS DALAM MENULIS –
Saat saya menyampaikan materi pelatihan menulis dimanapun, karena saya bukan akademisi dan lebih pas merasa diri sebagai praktisi, saya tidak terlalu suka dengan definisi yang umum termaktub dalam buku-buku ajar. Definisi hanya menyulitkan peserta saja, apalagi kalau harus menghapalnya. Untuk istilah “critical thinking” (berpikir kritis) dalam menulis, misalnya, saya tidak menjelaskannya verbatim atau secara definisi itu tadi. Saya lebih suka menunjuk saja pada prilaku atau perbuatan. Untuk menjelaskan apa itu berpikir kritis dalam menulis, kepada peserta saya mengatakannya secara sederhana, “Saat Anda bertanya, bertanya-tanya dan berusaha mencari jawabannya, itulah hakekat “berpikir kritis”. Dalam menulis, apapun yang Anda tulis, fiksi maupun nonfiksi, Anda harus menggunakan cara berpikir kritis ini. Ada banyak persayaratan sekaligus hambatannya. Tentu saja Anda harus membedakannya dengan berpikir kreatif, yang lebih mengedepankan visualisasi.
28 HAMBATAN BERPIKIR KRITIS –
Berpikir kritis dalam menulis itu syarat mutlak, conditio sine qua non. Seorang penulis yang tidak dipersenjatai pikiran kritis, akan tergelincir ke dalam tulisan yang penuh nyinyir, caci-maki, tidak logis, membabi-buta, penuh prasangka dan kebencian, menghasut, dan menebarkan permusuhan. Mengapa saya harus membagi tips ringan ini, sebab saya sedih dan prihatin, adasementara orang yang merasa dirinya hebat, jago berdebat, dan nampak seperti intelektual tulen, tetapi hasil ocehannya tak lebih dari penistaan dan kebencian tanpa syarat. Menyedihkan.
Tidak hanya untuk menulis, berpikir kritis juga diperlukan dalam berdebat. Kebetulan karena Facebook dan dunia maya saat ini biasa dijadikan ajang berdebat, maka setidaknya uraian ini cukup relevan. Ini sehat-sehat saja, sepanjang debat yang ditebar juga debat yang intelektual, bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, merujuk referensi pemikiran orang, bukan semata-mata mendesakkan kepada pihak lain inilah pemikiran orisinilnya, yang ternyata kopong semata. Debat kusir jadinya.
Saya ingin membagi tips hambatan-hambatan apa yang ada saat berpikir kritis. Banyaknya 28 poin, mungkin bisa lebih. Saya coba mengurai hambatan berpikir kritis pertama, yaitu:
1. KURANGNYA LATAR BELAKANG INFORMASI YANG RELEVAN
Ini adalah hambatan berpikir kritis yang pertama, kurangnya latar belakang informasi yang relevan. Latar belakang ini penting untuk mendudukkan perkara atas sebuah peristiwa, merekonstruksi kebenaran dan berani menyenyahkan benalu yang tidak relevan. Informasi yang harus dimiliki pun tentu saja harus relevan, tidak asal informasi jadi-jadian. Contoh sederhana, Anda ingin menulis atau berdebat mengenai betapa hebatnya seorang Ahmadinedjad, Presiden Iran yang sangat disegani itu. Katakanlah Anda dalam posisi setuju dan mengagumi.
Nah, untuk mendukung pendapat bahwa Ahmadinedjad orang hebat, Anda perlu referensi yang baik mengenai prestasi dan keberaniannya dalam menentang segala keangkuhan Barat dan Amerika Serikat. Tidak cukup bagi Anda mendukung kehebatan Ahmadinedjad dengan cerita-cerita sepotong dan puja-puji. Cari informasi yang relevan, misalnya Ahmadinedjad begitu gigih membela rakyat dan negaranya dengan program nuklir, yang membuat Amerika dan sekutunya gerah. Minimal bacalah buku “The Iran Threat: President Ahmadinejad and the Coming Nuclear Crisis”, atau paling gampang bukalah laman Wikipedia dengan katakunci “Ahmadinedjad”. Lumayanlah, latar belakang hidupnya cukup lengkap.
Informasi yang relevan tentang Ahmadinedjad sangat diperlukan untuk mendukung argumen atau pendapat bahwa dia memang orang hebat yang paling berani melawan Barat. Anda juga perlu informasi lainnya yang relevan dan mendukung masalah ini, misalnya menganalisa bertumbangannya para pemimpin di Timur Tengah dan Afrika. Betapa lemahnya mereka, sementara Ahmadinedjad adalah satu perkecualian. Bahwa Ahmadenadjad meskipun sudah digertak Israel dan Barat, tetap saja bergeming. Mengapa? Jawaban yang Anda kemukakan karena memiliki informasi yang relevan, akan sangat mendukung asumsi atau pendapat Anda itu, yang tidak semata-mata berisi puja-puji, sebagaimana saya sindir tadi.
Latar belakang informasi yang relevan juga diperlukan saat seorang jurnalis mengembangkan isu atau kolumnis menulis artikel tertentu. Saya terbiasa melakukan studi kepustakaan kalau hendak mengembangkan isu. Katakanlah isu mengenai kemungkinan perpecahan di tubuh KPK, tentu saja saya harus mengetahui seluk-beluk KPK dari A sampai Z, intrik-intrik di dalamnya, siapa para pimpinan teras KPK, siapa hakim, jaksa dan penyidik KPK. Aliansi atau bersimpati ke partai mana saja para pimpinan KPK itu (jika ada tendensi ke sana). Informasi yang relevan sangat penting agar isu yang saya kembangkan “make sense”, memberi pemahaman dan pengetahuan baru, dan yang paling penting mendudukkan persoalan dengan sebenar-benarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar