Akhir-akhir ini, kita sering mendengar banyak ditemukan tambang emas
yang dikelola oleh rakyat ( baca : cara tradisional ) hampir diseluruh
pelosok Nusantara.
Meskipun menambang logam mulia dengan cara manual seperti itu mengandung resiko yang tidak kecil, baik untuk manusia atau lingkunganya. Toh tetap saja, akibat dan tantangan yang demikian besar itu tidak menjadi soal apabila dibandingkan dengan keuntungan yang dihasilkan dari padanya. Karena bagi sebagian orang, menjadi penambang adalah salah satu cara cepat untuk menjadi kaya ataupun sekedar solusi untuk bertahan hidup dari kesulitan yang menimpa perekonomian negeri ini.
Bicara soal tambang rakyat identik dengan orang-orang Sulaweis Utara. Dimana ada tambang emas, disitu ada orang Manado.
Mereka sudah terkenal secara turun menurun mempunyai keahlian menambang emas. Bahkan bukan hanya menggali dan membuat “lubang tikus” saja. Orang Manado terkenal bisa menentukan suatu lokasi/tanah yang disinyalir mengandung Emas.
Saking hebatnya keahlian mereka dalam menentukan bahwa suatu lahan mengandung barang berharga tersebut, sampai ada anekdot bahwa orang Manado lebih hebat bila dibandingkan dengan orang barat dalam mencari lokasi tempat si emas ini bersembunyi.
Orang barat ketika mencurigai suatu lokasi mengandung logam emas atau tidaknya harus mengambil sampel tanahnya terlebih dahulu. Selanjutnya melakukan penelitian di labotarium yang memakan waktu lama.
Sedangkan orang Manado cukup dengan memakai sebuah alat bernama ” tibean” yaitu sebuah benda sebesar piring kecil, terbuat dari batok kelapa yang dialasi dengan karet. Kemudian mereka mengambil segenggam tanah yang akan ditest mengandung tidaknya emas. Lalu dicampur tanah itu dicampur sedikit air dari sungai. Setelah si tester itu mengoyang-goyangkan tanah yang sudah dicampur air tersebut. Tak berapa lama, akibat dari percampuran tanah dan air itu, maka munculah serpihan-serpihan kecil berwarna kuning mengambang diatas air. Disini kita jangan terkecoh dengan serbuk kuning tersebut bahwa itu emas. Penambang biasa menyebut benda itu adalah ” Emas gros”, serbuk itu tidak ada maknanya, meskipun terkadang kehadiran benda tersebut bisa menunjukan akan keberadaan emas di lokasi tersebut. Tapi petunjuk yang lebih afdhol kata penambang, adalah serbuk berwarna keperak-perakan yang biasa muncul bersama-sama dengan serbuk keemasan tadi. Apabila si perak tadi sudah muncul, disitu penambang bisa memperkirakan berapa kadar yang terkandung dari emas di lokasi tersebut. Hebat kan?? Singkat dan sederhana seorang penambang Manado bisa begitu mudah menemukan harta didalam gunung.
Tapi penulis sedikit kaget ketika bertemu seorang penambang bernama Pak Kaligis di lokasi tambang rakyat emas Poboya, Palu. Menurut beliau, jauh sebelum orang Sulawesi Utara mengerti cara menambang, orang Sunda Tasikmalaya telah lebih dahulu menguasai tekhnik menambang emas secara tradisional. Bahkan menurut dia lagi, konon Orang Manado belajar mencari emas dari orang Sunda!!
Ceritanya, di zaman kolonial dahulu. Bangsa Belanda membawa dan mempekerjakan orang-orang Sunda asal Tasikmalaya ke lokasi tambang di daerah Bongalaw Mongodow, Sulawesi Utara. Dan disitulah terjadi transfer ilmu antara orang-orang Sunda dan Pribumi setempat. Tapi sayang, pak Kaligis menambahkan. Orang-orang Sunda tidak mengubah cara bertambangnya. Dari dulu dan sekarang metode mereka itu-itu saja, tidak ada perubahan, sehingga akhirnya sekarang, malah orang Manado yang lebih pintar dan banyak yang berhasil dari tambang. Selain itu Orang Sunda terlalu mempercayai hal-hal yang Irasional ketika hendak menambang. Seperti menghitung bulan yang bagus untuk mulai kerja atau menunggu wangsit dari makhluk penunggu lokasi tersebut. Makanya, orang lain sudah menikmati hasil kerja, orang Sunda masih deg-degan menunggu petunjuk dari ” karuhun”.
” Harudang atuh dulur…..”
Meskipun menambang logam mulia dengan cara manual seperti itu mengandung resiko yang tidak kecil, baik untuk manusia atau lingkunganya. Toh tetap saja, akibat dan tantangan yang demikian besar itu tidak menjadi soal apabila dibandingkan dengan keuntungan yang dihasilkan dari padanya. Karena bagi sebagian orang, menjadi penambang adalah salah satu cara cepat untuk menjadi kaya ataupun sekedar solusi untuk bertahan hidup dari kesulitan yang menimpa perekonomian negeri ini.
Bicara soal tambang rakyat identik dengan orang-orang Sulaweis Utara. Dimana ada tambang emas, disitu ada orang Manado.
Mereka sudah terkenal secara turun menurun mempunyai keahlian menambang emas. Bahkan bukan hanya menggali dan membuat “lubang tikus” saja. Orang Manado terkenal bisa menentukan suatu lokasi/tanah yang disinyalir mengandung Emas.
Saking hebatnya keahlian mereka dalam menentukan bahwa suatu lahan mengandung barang berharga tersebut, sampai ada anekdot bahwa orang Manado lebih hebat bila dibandingkan dengan orang barat dalam mencari lokasi tempat si emas ini bersembunyi.
Orang barat ketika mencurigai suatu lokasi mengandung logam emas atau tidaknya harus mengambil sampel tanahnya terlebih dahulu. Selanjutnya melakukan penelitian di labotarium yang memakan waktu lama.
Sedangkan orang Manado cukup dengan memakai sebuah alat bernama ” tibean” yaitu sebuah benda sebesar piring kecil, terbuat dari batok kelapa yang dialasi dengan karet. Kemudian mereka mengambil segenggam tanah yang akan ditest mengandung tidaknya emas. Lalu dicampur tanah itu dicampur sedikit air dari sungai. Setelah si tester itu mengoyang-goyangkan tanah yang sudah dicampur air tersebut. Tak berapa lama, akibat dari percampuran tanah dan air itu, maka munculah serpihan-serpihan kecil berwarna kuning mengambang diatas air. Disini kita jangan terkecoh dengan serbuk kuning tersebut bahwa itu emas. Penambang biasa menyebut benda itu adalah ” Emas gros”, serbuk itu tidak ada maknanya, meskipun terkadang kehadiran benda tersebut bisa menunjukan akan keberadaan emas di lokasi tersebut. Tapi petunjuk yang lebih afdhol kata penambang, adalah serbuk berwarna keperak-perakan yang biasa muncul bersama-sama dengan serbuk keemasan tadi. Apabila si perak tadi sudah muncul, disitu penambang bisa memperkirakan berapa kadar yang terkandung dari emas di lokasi tersebut. Hebat kan?? Singkat dan sederhana seorang penambang Manado bisa begitu mudah menemukan harta didalam gunung.
Tapi penulis sedikit kaget ketika bertemu seorang penambang bernama Pak Kaligis di lokasi tambang rakyat emas Poboya, Palu. Menurut beliau, jauh sebelum orang Sulawesi Utara mengerti cara menambang, orang Sunda Tasikmalaya telah lebih dahulu menguasai tekhnik menambang emas secara tradisional. Bahkan menurut dia lagi, konon Orang Manado belajar mencari emas dari orang Sunda!!
Ceritanya, di zaman kolonial dahulu. Bangsa Belanda membawa dan mempekerjakan orang-orang Sunda asal Tasikmalaya ke lokasi tambang di daerah Bongalaw Mongodow, Sulawesi Utara. Dan disitulah terjadi transfer ilmu antara orang-orang Sunda dan Pribumi setempat. Tapi sayang, pak Kaligis menambahkan. Orang-orang Sunda tidak mengubah cara bertambangnya. Dari dulu dan sekarang metode mereka itu-itu saja, tidak ada perubahan, sehingga akhirnya sekarang, malah orang Manado yang lebih pintar dan banyak yang berhasil dari tambang. Selain itu Orang Sunda terlalu mempercayai hal-hal yang Irasional ketika hendak menambang. Seperti menghitung bulan yang bagus untuk mulai kerja atau menunggu wangsit dari makhluk penunggu lokasi tersebut. Makanya, orang lain sudah menikmati hasil kerja, orang Sunda masih deg-degan menunggu petunjuk dari ” karuhun”.
” Harudang atuh dulur…..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar