Beberapa warga trans asal NTT bersama penulis di kab Buol. |
” Mari jow Eja, sebentar sore Bastrom torang!!”
” Oke Eja, so pusing juga ini kepala, tiga hari nyanda makan Gabus, nanti saya jemput ke Pos heh? “
Alex adalah warga transmigran asal pulau Timor, sejak tahun 1994 dia dan keluarganya meninggalkan pulau kelahiranya untuk menetap di kabupaten Buol. Wajahnya yang khas mestizo ditambah nama belakangnya ada marga Portugis yaitu Da Silva membuat saya yakin kalau dia itu asal usulnya merupakan pernakan Portugis.
Tidak mengherankan memang, bahwa Indonesia bagian timur merupakan daerah yang kental pengaruh budaya negara semenanjung Iberia tersebut. Postur tubuh yang atletis, hidung mancung, ditambah gaya bicara yang sedikit meledak-ledak merupakn ciri kebudayaan mereka. Tapi salutnya mereka bersikap terbukan dan mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi, tak peduli temanya berlatar belakang berebda, selama itu kawannya pasti mereka setia. Itu merupakan pengalaman pribadi saya hidup di komunitas Alex selama enam bulan. Memang jangka waktu tersebut bagi sebagian orang mungkin belum cukup untuk mendalami karakter seseorang apalagi komunitas. Tapi kedekatan dengan mereka yang bisa dikatakan sampai makan, tidur dan bermain di sana, cukup bagi saya mengetahui apa, bagaimana dan siapa mereka.
Kenyataanya, mereka tidak seperti yang digambarkan media selama ini, terutama kehidupan mereka di Jakarta, yang berkarakter preman, sangar dan senang membuat onar. Jangan menilai dari salah satu oknum saja, karena berkulit seram dan hitam kita tidak boleh asal mencap negatif kepada mereka. Kenyataanya, mereka itu baik bahkan menghormati saya sebagai seorang muslim yang tinggal bersama mereka. Tidak ada suasanan pengkotak-kotakan yang ditunjukan oleh mereka kepada saya sebagai pendatang dan Aparat Keamanan yang bertugas disana. Bahkan mereka tidak segan memanggil saya dengan sebutan ” EJA ” panggilan kesayangan dikalangan mereka yang artinya kurang lebih adalah “IPAR”, sedikit lucu juga awalnya mereka memanggil saya seperti itu, dalam benak saya, kapan saya menikahi saudaranya, hehehe. Ternyata memang sudah itu panggilan yang lebih mengakrabkan persahabatan kita.
” Oke Eja, so pusing juga ini kepala, tiga hari nyanda makan Gabus, nanti saya jemput ke Pos heh? “
Alex adalah warga transmigran asal pulau Timor, sejak tahun 1994 dia dan keluarganya meninggalkan pulau kelahiranya untuk menetap di kabupaten Buol. Wajahnya yang khas mestizo ditambah nama belakangnya ada marga Portugis yaitu Da Silva membuat saya yakin kalau dia itu asal usulnya merupakan pernakan Portugis.
Tidak mengherankan memang, bahwa Indonesia bagian timur merupakan daerah yang kental pengaruh budaya negara semenanjung Iberia tersebut. Postur tubuh yang atletis, hidung mancung, ditambah gaya bicara yang sedikit meledak-ledak merupakn ciri kebudayaan mereka. Tapi salutnya mereka bersikap terbukan dan mempunyai rasa kesetiakawanan yang tinggi, tak peduli temanya berlatar belakang berebda, selama itu kawannya pasti mereka setia. Itu merupakan pengalaman pribadi saya hidup di komunitas Alex selama enam bulan. Memang jangka waktu tersebut bagi sebagian orang mungkin belum cukup untuk mendalami karakter seseorang apalagi komunitas. Tapi kedekatan dengan mereka yang bisa dikatakan sampai makan, tidur dan bermain di sana, cukup bagi saya mengetahui apa, bagaimana dan siapa mereka.
Kenyataanya, mereka tidak seperti yang digambarkan media selama ini, terutama kehidupan mereka di Jakarta, yang berkarakter preman, sangar dan senang membuat onar. Jangan menilai dari salah satu oknum saja, karena berkulit seram dan hitam kita tidak boleh asal mencap negatif kepada mereka. Kenyataanya, mereka itu baik bahkan menghormati saya sebagai seorang muslim yang tinggal bersama mereka. Tidak ada suasanan pengkotak-kotakan yang ditunjukan oleh mereka kepada saya sebagai pendatang dan Aparat Keamanan yang bertugas disana. Bahkan mereka tidak segan memanggil saya dengan sebutan ” EJA ” panggilan kesayangan dikalangan mereka yang artinya kurang lebih adalah “IPAR”, sedikit lucu juga awalnya mereka memanggil saya seperti itu, dalam benak saya, kapan saya menikahi saudaranya, hehehe. Ternyata memang sudah itu panggilan yang lebih mengakrabkan persahabatan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar