Dalam
sejarah konflik di Poso para milisi sipil di dua komunitas bertikai
punya peran yang cukup signifikan. Di suatu ketika menjadi pihak yang
menolong masyarakat namun tanpa disadari implikasinya berubah menjadi
bencana.
Pernah
suatu ketika di Poso hanya dihuni para serdadu dan milisi sipil. Yang
nampak oleh mata hanyalah sejumlah orang memakai baju putih- putih dan
baju hitam-hitam dengan ikat kepala merah dikepala atau leher. Disamping
itu terlihat juga pasukan warna loreng hijau sambil menenteng senjata.
Situasi seperti itu mengingatkan kita saat gereja Katolik Santha
Theresia di Meongko Baru dibakar massa. Ingatan itu juga masih membekas
saat pesantren Walisongo di Kilometer sembilan, Desa Sintuwulemba
diserang dan dibakar oleh kelompok penyerang. Penduduk laki-laki
dipisahkan kemudian dibantai sedangkan kaum perempuan menglami
penyiksaan dan pelecehan seksual. Poso kala itu menjadi ladang
pembantaian manusia yang tidak tahu agenda konflik sebenarnya.
Dalam
situasi yang sudah berada pada tahap krisis kemanusiaan itu para milisi
sipil baik sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan masuk ke
wilayah konflik itu. Alasannya hanya satu membantu saudaranya yang
teraniaya. Alasan yang belum tentu mulia adanya.
Munculnya
laskar-laskar ini baik Kristen maupun Islam punya keterkaitan dengan
krisis ekonomi politik dan juga sosial yang terjadi negeri ini. Terhadap
krisis politik di tanah air menjadikan tumbuhnya milisi-milisi yang
siap digerakkan. Ada hubungan saling menguntungkan antara elite politik
dan para milisi. Pada sisi ini hubungan dagang sapi dan saling
mengkalaim menjadi sesuatu yang lumrah.
Elit
politik membutuhkan dan sekaligus memanfaatkan - lebih tepatnya para
laskar-laskar itu disebut kuda troya untuk kepentingan politik sesaat.
Sementara laskar-laskar (milisi sipil) itu butuh dukungan politik dalam
memainkan perannya dilapangan.
Hubungan
mutual simbiolisme itu terlihat juga dalam bidang ekonomi. Maraknya
bisnis pengamanan yang terjadi saat eskalasi konflik Poso meningkat.
Dengan alasan melindungi warga para laskar Islam rela berhari-hari
menemani dan menunggui warga yang hendak ke kebun untuk memetik coklat.
Dibalik semua itu tentu ada imbalannya baik materi maupun dukungan
solidaritas. Hal sama terjadi juga dilaskar Kristus. Mereka menjadi
penjaga bagi ketakutan warga setiap saat. Hal yang sama dilakukan para
aparat keamanan. Mereka memanfaatkan situasi yang tak mengenakkan itu
menjadi pengawal perjalanan. Inilah bisnis militer yang paling kecil
stadiumnya di daerah konflik seperti Poso.
Ini
semua terjadi karena hukum tak pernah menyelesaikan persoalan warga
Poso. Krisis hukum telah menciptakan rasa prustasi yang berkepanjangan.
Kejahatan politik apalagi kemanusiaan di Poso tak pernah terselesaikan
oleh hukum itu sendiri. Lihat saja data kekerasan di Poso tak pernah
tuntas diselesaikan. Pada 1998 jumlah kasus terdapat 12 kasus yang
terselesiakan hanya dua kasus. Tahun 2000 jumlah kasus meningkat lagi 38
perkara, yang diselesaikan hanya 14 yang dilipahkan ke penuntut umum.
Selebihnya tak tertangani. 2001 124 perkara, terselesaikan hanya 5
perkara, termasuk kasus pidana mati Febianus Tibo Cs. Untuk tahun ini
2002 jumlah kasus yang teridentifikasi 78 perkara, namun dari 78 kasus
ini belum satu pun yang terselasaikan, termasuk kasus penembakan warga
Itilia bernama Lorenso Taddei di desa Mayoa. Pomana Selatan. Berikut ini
laskar-laskar yang bermain di Poso.
Milisi Islam
Milisi
Islam yang cukup terkenal adalah Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah.
Pimpinannya Ust Jafar Umar Thalib. Meski kemudian laskar ini dibubarkan
sendiri oleh Pimpinannya. Milisi ini masuk ke Poso pada Agustus 2001.
Sebelumnya mereka melakukan sowan ke sejumlah petinggi di provinsi
Sulawesi Tengah, seperti gubernur dan ketua DPRD Sulteng.
Penampilan
pasukan ini memang meyakinkan. Berjubah putih, pakai sorban ala
Pangeran Dipanegoro. Menurut Wakil Panglima Laskar Jihad, Ayip
Safruddin, jumlah pasukan yang diturunkan di Poso awalnya sekitar 600.
Namun dalam perkembangannya laskar ini terus bertambah seiring konflik
Poso makin menaik.
Penurut
pengakuan Laskar Jihad saat itu, mereka masuk kewilayah Poso karena
ingin membela kalangan muslim yang menurut mereka terusir dari kampung
halamannya. Alasan yang sama saat mereka menuju Wilayah Maluku. Saat
kedatangannya di wilayah Poso, kalangan muslim lalu menyiapkan
persiapan-persiapan perang. Terbukti November 2001 konflik Poso meledak
di lima desa Krsiten. Salah satu gerakan yang ditinggalkan Laskar jihad
adalah membentuk satgas amar makruf nahi munkar. Sering melakukan
swiiping bagi masyarakat kota Poso yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah
Islam. Radio Bulava Poso pernah kena semprot karena tak menyiarkan azan
magrib.
Selain
Laskar Jihad, milisi Islam yang terkenal di Poso adalah Laskar
Mujahidin. Laskar ini banyak menimba ilmu perang di Maluku. Laskar ini
agak ekslusif karena penampilannya sama dengan Islam kebanyakan. Namun
dalam gerakannya di Poso tak kenal kompromi. Mereka menciptakan sandi
tersendiri, seperti orang Kristen di panggil Kongkoli, sebuah tumbuhan
di Poso yang berakar banyak dan dipakai laskar kristus dalam
penyerangan. Mereka banyak merekrut pemuda-pemuda Poso dan dididik
menjadi militan. Mereka lalu membentuk benteng-benteng pertahanan
dipinggiran kota Poso.
Untuk
keperluan dilapangan laskar ini banyak membentuk faksi-faksi, seperti
laskar Jundullah, Laskar Hisbullah dan Front Perjuangan Umat Islam Poso.
Laskar ini sangat getol mewajibkan perempuan di Poso untuk menutup
aurat (berjilbab). Mereka mewajibkan Perempuan Poso untuk menutup kepala
dan laki-lakinya untuk berpeci. Saat konflik, mereka sering melakukan
swiping bagi perempuan yang tidak menutup kepalanya.
Saat
teror dan kekerasan terus menghantui warga Poso, tahun 2001, di Desa
Malei Kecamatan Lage yang menjadi salah satu basis pertahanan laskar
Mujahidin, seorang muslim asal medan, Parlindungan Siregar bersama
dengan Omar Badon sangat aktif melakukan training bagi pemuda muslim
poso di kamp-kamp pelatihan yang terseber dibeberapa tempat di Kecamatan
Lage. Menurut beberapa sumber, Parlindungan Siregar adalah aktivis
Salman dan pernah bekerja di IPTN[1].
Saat melanjutkan studi pasca sarjana di Spanyol, Parlindungan diregar
berasal. yang iduga terlibat aksi pemboman di salah satu stasiun kereta
api di spanyol. Saat konflik memanas di Desa Malei mereka mendirikan
sebuah pos yang dijadikan benteng penghalau massa Kristen menyerang. Di
Pos itu bertuliskan POS MUJAHIDIN MEDAN. Kata medan dapat berarti area
tetapi dapat pula dimaknai sebagai ibu kota dimana Parlindungan Siregar
berasal. yang jelas, penggunaan sandi-sandi operasi kerap digunakan oleh
milisi layaknya suatu strategi operasi militer.
Laskar
Islam lainnya, adalah Majelis Zikir Nurulkhairaat Poso. Pasukan ini
dipimpin Ust Habib Saleh Al-Idrus. Datang ke Poso sejak peristiwa
konflik Poso pertama 1998. Tujuannya menurut Habib Saleh seperti
dilansir banyak media adalah berdakwah memperkuat aqidah umat.
Saat
kota Poso dimasuki laskar Kristen pada Mei 2000, kelompok pengajian ini
melakukan perlawanan. Dan Habib Saleh mengaku membunuh salah satu
pimpinan kelompok Kristen, Ir. Adven L Lateka. Jumlah pasukan ini pada
awalnya 60 orang saja, tapi kini makin bertambah.
Milisi Kristen
Tidak seperti laskar Islam yang tampil secara terang-terangan, laskar Kristus agak susah diidentifikasi[2].
Yang terang terangan hanyalah laskar Manguni. Pasukan ini berpusat di
Manado, Sulawesi Utara dengan jumlah personil berkisar 700 orang. Di
Poso pasukan ini disebut-sebut berbasis daerah Sepe - Silanca. Milisi
sipil ini bermarkas di Manado Sulawesi Utara. Kabarnya laskar ini banyak
dihuni oleh anggota militer yang dianggap desersi maupun yang sudah
pensiun.
Dalam
penampilan sehari-hari milisi ini banyak memakai baju dan celana
hitam-hitam. Ikat kepala kain merah. Milisi ini memiliki divisi daerah
yang membawahi cabang satgas-satgas.
Saat
konflik Poso pada Mei 2000 laskar Kristus muncul tiga kelompok yang
dikenal: Pertama, pasukan macan. Dilapangan pasukan ini agak gesit dalam
menyerang. Tak kenal kompromi dan bergerak pada siang hari. Jumlah
pasukan ini pada saat penyerangan bisa ratusan orang. Umumnya pasukan
ini agak mahir dalam memainkan panah dan senjata organik. Kedua, pasukan
Kelelawar. Kelompok ini bergerak pada malam hari dan terbagi dalam dua
kelompok, hitam dan merah. Kelompok hitam berusaha menerobos sasaran
yang dituju sedang kelompok merah berusaha menyisir masyarakat yang
sudah lari ketakutan. Dalam penyerangannya dua pasukan tersebut di bantu
pasukan kipas (sisiru). Pasukan ini adalah Pendukung massa Kristen
dengan menggunakan daya magis yang mereka yakini.
Milisi
lain yang terorganisir di warga Kristen di Poso adalah Ansimar
(Angkatan Muda Sintuwu Maroso). Kelompok ini adalah kaum muda terpelajar
kota Poso. Kelompok ini umumnya warga kelurahan Lombogia Poso kota.
Saat kerusuhan Poso kedua (April 2000) rumah-rumah mereka dibakar massa
sehingga terpaksa mengungsi ke Tentena. Disana mereka mengorganisir diri
karena dendamnya terhadap warga Poso kota masih menyala.
Akankah
milisi itu tetap langgeng dan hidup di masyarakat Poso? Bisa jadi kalau
pemerintah hanya setengah hati mencari solusi atau aparat keamanan
sudah tak lagi berwibawa. Dan yang paling terpenting adalah faktor
mandulnya hukum dalam menyelesaikan koflik di masyarakat.
Kehadiran
milisi ini hanya bisa dicegah bila hukum dan aparat keamanan serta
pemerintah menjadi pelindung masyarakat dari berbagai persoalan yang
muncul.
[1] Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan Poso, Menggapai Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam, cetakan ke-dua, 2003
[2]
Pdt. Rinaldy Damanik dalam bukunya “Tragedi Kemanusiaan Poso, Menggapai
Surya Pagi Melalui Kegelapan Malam, cetakan ke-dua, 2003 mengatakan
“berulangkali dia didatangi eleh beberapa orang yang karena penderitaan
yang dialami, mereka meminta agar aku menghubungi Brigade Manguni,
Legium Christum dan Pemuda Permesta dari Manado Sulawesi Utara, untuk
datang ke Poso dan sekitarnya membantu umat Kristen” Damanik kemudian
tegas menolak desakan itu.
Sumber : Cops dari http://syamsulalamagus.blogspot.com/2007/04/milisi-sipil-di-konflik-poso.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar